Sebelum Berwasiat
Di Ghadir Khum ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah memberi wasiat dan secara khusus memuji sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Sebelum kita melihat isi wasiat dan pujian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sayyidina Ali Radhiyallahu anhu, ada baiknya kita mengetahui kronologis yang melatarbelakangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat di Ghadir Khum tersebut.
Di tahun 10 H, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu dan pasukannya ke Yaman untuk berdakwah dan bertempur dengan orang-orang yang menghalangi dakwah. Pasukan Khalid menang dalam suatu pertempuran dan mendapatkan rampasan perang. Khalid mengirim pesan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah agar mengirim utusan untuk mengambil seperlima dari rampasan perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengutus Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bersama tiga ratus orang pasukannya ke Yaman untuk berdakwah, menjadi hakim, dan untuk mengambil seperlima dari rampasan perang pasukan Khalid. Ali diutus ke Yaman di bulan Ramadhan tahun 10 H, enam bulan setelah Khalid diutus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar Ali membawa rampasan perang ke Makkah dan bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sana untuk bersama-sama menunaikan ibadah haji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Khalid dan pasukannya agar pulang ke Madinah, kecuali bagi tentara Khalid yang hendak bergabung dengan pasukan Ali maka dipersilakan untuk bergabung.
Dalam aturan jihad, rampasan perang dibagi untuk mujahidin sebanyak empat perlima bagian di luar gaji atau mukafa’ah yang rutin mereka terima sebagai tentara kaum muslimin. Yang seperlima diserahkan kepada Imam (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau khalifah atau pemimpin kaum muslimin). Pembagian seperlima ini sesuai dengan aturan Allah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum kerabat beliau, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu Sabil (para musafir yang kekurangan bekal), sebagaimana tercantum dalam surat Al-Anfal ayat 41. Harta rampasan bisa berupa uang, senjata, hewan, pakaian, termasuk para tawanan. Para tawanan ini statusnya menjadi budak bagi kaum muslimin.[1]
Ali telah menerima seperlima harta rampasan perang dari pasukan Khalid. Di antara seperlima rampasan perang yang diterima Ali di Yaman, ada seorang budak perempuan. Budak perempuan tersebut dibawa masuk ke kemah Ali, kemudian Ali keluar kemah dan mandi. Kejadian ini membuat sebagian sahabat yang ikut berperang marah dan kesal atas sikap Ali. Kebanyakan dari para tentara itu merupakan orang-orang yang baru masuk Islam, seperti Buraidah Al-Aslami Radhiyallahu anhu(masuk Islam tahun 7 H) dan Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu (masuk Islam tahun 8 H). Kemungkinan mereka belum tahu bahwa Ali berhak mendapat bagian dari rampasan perang tersebut. Atau mereka beranggapan bahwa Ali telah berbuat lancang menerima harta rampasan perang untuk dirinya sendiri, padahal menurut mereka seharusnya diserahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu.
Seorang Sahabat sempat menegur Ali tentang apa yang diperbuatnya. Ali menjelaskan bahwa beliau mendapatkan hak untuk memiliki rampasan perang karena beliau termasuk keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Budak perempuan tersebut termasuk bagian miliknya. Ali berijtihad bahwa beliau berhak mendapat bagian dari seperlima rampasan perang yaitu untuk kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan nash Al-Quran. Beliau yakin ketika memanfaatkan sesuatu dari rampasan perang tersebut termasuk menggauli budak yang menjadi miliknya bukanlah merupakan pelanggaran syariat.
#####
Pasukan Khalid pulang ke Madinah, sedangkan Ali dan rombongan masih di Yaman berdakwah dan menjadi hakim di sana. Rampasan perang tidak dibawa oleh pasukan Khalid melainkan akan dibawa oleh Ali dan pasukannya ke Makkah. Ali akan menyerahkan rampasan perang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah saat haji nanti. Ketika pasukan Khalid sampai di Madinah, mereka menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Buraidah yang datang ke Madinah sebelum rombongan pasukan Khalid, melaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas sikap Ali dan berbincang berdua dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali dan menasihati Buraidah.
Dari Buraidah ia berkisah, “Aku berperang bersama Ali di Yaman, aku melihat sikap dingin darinya. Ketika aku pulang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku menceritakan tentang Ali dan merendahkannya. Aku melihat rona wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah, lalu beliau bersabda, “Wahai Buraidah bukankah aku lebih utama bagi kaum mukminin melebihi diri mereka?” Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi,
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai wali, maka jadikan Ali juga sebagai wali.”[2]
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali untuk menemui Khalid (bin Walid) agar mengambil seperlima harta rampasan perang. Aku adalah orang yang membenci Ali, ketika itu dia telah mandi. Lalu aku berkata kepada Khalid, “Apa kau tidak melihat apa yang dilakukannya?” Tatkala aku datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku sampaikan kepada beliau tentang Ali. Beliau bertanya, “Wahai Buraidah! Apakah kamu membenci Ali?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kamu jangan membencinya karena sebenarnya ia berhak mendapatkan harta rampasan perang lebih dari itu (lebih dari sekedar seorang budak perempuan).”[3]
Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur, Buraidah tidak lagi membenci Ali bahkan beliau sangat mencintainya. Buraidah berkata, “Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih aku cintai dari Ali.”[4]
Imran bin Hushain bersama tiga kawannya juga melaporkan sikap Ali tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun marah kepada para pelapor dan membenarkan sikap Ali. Beliau melihat ada benih ketidaksukaan dari sebagian Shahabat kepada Ali, dan beliau khawatir hal itu akan berlanjut sampai setelah beliau wafat. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan mereka bahwa Ali adalah wali bagi setiap mukmin dan memerintahkan mereka untuk mencintai Ali.
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan. Beliau mengutus Ali untuk mengambil harta rampasan perang. Ali menemui pasukan perang dan mengambil seorang tawanan (budak) wanita, kemudian beliau menggaulinya. Para Sahabat mengingkari sikap Ali tersebut. Ada empat Sahabat yang berjanji, jika kita bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kita adukan kepada beliau apa yang dilakukan Ali. Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar (yang merupakan tugas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka memulai dengan menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi salam (dan laporan) kepada beliau, kemudian baru kembali ke rumah masing-masing. Ketika pasukan perang ini sampai (di Madinah), mereka memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu salah satu dari empat orang sahabat melaporkan, “Wahai Rasulullah, tahukah anda bahwa Ali telah melakukan demikian dan demikian.” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan tidak mengindahkan laporannya. Orang yang kedua bergantian melaporkan hal yang sama, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak mempedulikannya. Orang yang ketiga juga demikian melaporkan hal yang sama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak mempedulikannya, sampai giliran orang yang keempat melaporkan yang sama dengan tiga teman sebelumnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya, wajah marah nampak pada beliau, lalu berkata,
مَاتُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَاتُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَاتُرِيدُون مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّامِنِّي وَأَنَامِنْهُ، وَهُوَوَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي
“Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku.”[5]
#####
Kejadian lain yang melatarbelakangi adanya khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum, adanya sebagian Sahabat dari rombongan Ali Radhiyallahu anhu yang marah dan kesal kepada Ali atas sikapnya yang memberatkan mereka.
Kisahnya, Ali dan rombongan bertolak dari Yaman menuju Makkah membawa rampasan perang, harta zakat dan hadiah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa unta yang banyak, baju-baju baru, dan lainnya. Dalam perjalanan ke Makkah Ali mendahului rombongan ke Makkah dan mewakilkan kepada seseorang untuk menjadi pimpinan rombongan. Ali berpesan agar rombongan jangan menaiki unta-unta zakat dan jangan mengenakan baju-baju baru.
Ali berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, ketika rombongan pasukan Ali dari Yaman sampai di Makkah, Ali menemui rombongan dan melihat sebagian pasukannya memakai pakaian baru dan mendapat informasi bahwa unta-unta zakat telah dinaiki oleh sebagian anak buahnya.
Dalam keterangan yang lain, Ali masih ada urusan di Yaman dan meminta wakilnya dan rombongan berangkat terlebih dahulu ke Makkah, beliau akan menyusul. Setelah beliau menyusul di tengah perjalanan, beliau mendapatkan sebagian anak buah melanggar larangannya untuk tidak menaiki unta-unta zakat dan jangn mengenakan baju baru milik Negara.
Ali pun marah besar kepada wakilnya dan juga kepada anak buahnya yang melanggar. Ali marah karena tidak sepantasnya dan tidak boleh mereka memanfaatkan barang yang bukan miliknya. Unta-unta yang dinaiki akan menjadi letih dan lemah, berarti mereka telah merugikan barang milik orang lain. Termasuk juga baju-baju baru, itu bukan milik mereka dan tidak berhak mereka pakai. Ali memerintahkan para anak buahnya untuk turun dari unta-unta zakat dan melepaskan baju baru yang mereka kenakan. Ali sangat menjaga amanat untuk diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian Sahabat marah dan kesal atas sikap Ali yang menurut mereka bersikap kaku dan keras. Alasan mereka menaiki unta-unta zakat karena unta-unta mereka telah letih, sedangkan unta-unta zakat terlihat masih kuat. Ketika mereka sampai di Makkah, mereka mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sikap Ali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali dan melarang mereka membenci Ali.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan pulang ke Madinah dan sampai di tempat yang bernama Ghadir Khum, beliau berkhutbah di hadapan para Sahabat yang masih menyimpan kekesalan kepada Ali dan kepada mereka yang mungkin telah mendengar desas desus yang mendiskreditkan Ali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan memberikan pembelaan kepada Ali dan berwasiat agar para Sahabat dan kaum muslimin semuanya memuliakan keluarga beliau.[6]
Ibnu Katsir berkata :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara Makkah dan Madinah sepulang dari haji Wada’, di daerah dekat Juhfah yang bernama Ghadir Khum. Di sana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib dan beliau membersihkan nama baik Ali dari setiap komentar miring beberapa Sahabat yang membersamai Ali dari Yaman lantaran kebijakan Ali terhadap mereka yang dianggap sebagai tindakan kezaliman dan bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali. Karena itu setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan manasik haji, di tengah perjalanan pulang ke Madinah pada tanggal 18 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Ahad, beliau singgah di Ghadir Khum lalu beliau berkhutbah di bawah pohon dengan khutbah yang agung. Beliau jelaskan beberapa hal dan menyebutkan keutamaan Ali, amanahnya, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau. Dengan khutbah tersebut hilanglah ganjalan-ganjalan di hati banyak orang terhadap Ali.”[7]
[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
_____
Footnote
[1] Lihat Fiqhussunnah (2/675).
[2] HR. Ahmad No. 22945. Syaikh Syuaib Al-Arnauth rahimahullah berkata, “Isnadnya shahih atas syarat Bukhari dan Muslim.
[3] HR. Al-Bukhari No. 4093, Ahmad No. 23086.
[4] Syarhu Musykilil Âtsâr No. 3041 (8/58).
[5] HR. At-Tirmidzi No. 4045, An-Nasai di Sunan Al-Kubra No. 8420, Ahmad No. 19928, Ibnu Hibban No. 6929, dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hasan Gharîb, dan dishahihkan oleh Albani. Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat. (Sumber: Buku “Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu” oleh Abdus Sattar Asy-Syaikh, halaman 88-89)
[6] Dalâilun Nubuwwah (5/398-399).
[7] Al-Bidâyah Wan Nihâyah(7/397).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/20256-sebelum-berwasiat.html